Setiap Hari Raya Idul Adha, kita selalu diingatkan dengan kisah tentang
ketaatan Nabi Ibrohim as. dan putranya, Nabi Ismail as., dalam
menjalankan perintah Allah Swt. Ketika Nabi Ibrohim as. diperintahkan
untuk menyembelih putranya, keduanya segera bergegas melaksanakan
perintah-Nya. Tak tampak sama sekali keraguan, apalagi keengganan atau
penolakan. Keduanya dengan ikhlas menunaikan perintah-Nya, meski harus
mengurbankan sesuatu yang paling dicintainya. Ibrohim as. rela
kehilangan putranya. Ismail as. pun tak keberatan kehilangan nyawanya.
Peristiwa agung ini diabadikan dalam al-Quran agar menjadi teladan bagi
manusia sepanjang masa. Allah Swt. berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ
مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي
أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ
سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata, “Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Karena itu, pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab,
“Ayah, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS ash-Shoffat [37]:
102).
Pengorbanan yang luar biasa itu pun membuahkan hasil.
Tatkala ketaatan mereka telah terbukti, perintah penyembelihan itu pun
dibatalkan. Sebagai gantinya, Allah Swt. menebusnya dengan sembelihan
hewan, karena mereka telah lulus dari al-balâ’ al-mubîn (ujian yang
nyata). Mereka pun mendapatkan balasan yang besar (QS: Shoffat [37]:
103-107).
Ketundukan, pengorbanan, dan keberhasilan mereka
seharusnya menjadi teladan bagi kita. Sebagaimana Nabi Ibrahim as., kita
pun menerima berbagai kewajiban dari Allah yang harus dikerjakan. Bagi
kita, kewajiban itu juga al-balâ’ al-mubîn (ujian yang nyata). Siapapun
yang bersedia tunduk dan patuh menjalankan kewajiban itu, ia selamat dan
sukses. Sebaliknya, mereka yang membangkang-Nya akan gagal dan celaka.
Di antara kewajiban itu adalah menerapkan syariah-Nya dalam kehidupan. Allah Swt. berfirman:
وَأَنِ
ٱحْكُم بَيْنَهُمْ بِمَآ أَنزَلَ ٱللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ
وَٱحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَآ أَنزَلَ ٱللهُ إِلَيْكَ
Hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah
turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebagian perkara yang telah Allah turunkan kepadamu. (QS
al-Maidah [5]: 49).
Seruan yang senada dengan ayat ini juga
bertebaran dalam banyak ayat lain, demikian pula dalam al-Hadits.
Kewajiban tersebut kian tegas dengan adanya larangan bagi setiap Mukmin
untuk mengambil dan menerapkan hukum lain yang tidak berasal dari-Nya.
Jika kita tetap bersikukuh menjalankan hukum selain syariah-Nya maka
kita bisa terkategori kafir, zalim, atau fasik (QS al-Maidah [5]: 44,
45, dan 47).
Syariah yang diwajibkan atas kita itu bersifat
total dan menyeluruh, baik menyangkut interaksi manusia dengan Sang
Pencipta (berupa hukum-hukum ibadah); interaksi manusia dengan dirinya
sendiri (berupa hukum-hukum makanan, pakaian, dan akhlak); maupun
interaksi antar sesama manusia (berupa hukum-hukum muamalah yang
meliputi sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pergaulan, strategi
pendidikan, politik luar negeri, dan ‘uqûbât yang memberikan ketentuan
mengenai sanksi-sanksi terhadap setiap pelaku kriminal).
Keseluruhan
syariah itu wajib kita terapkan; tidak boleh ada yang diabaikan,
ditelantarkan, apalagi didustakan. Tindakan mengimani sebagian syariah
dan mengingkari sebagian lainnya hanya akan mengantarkan pelakunya pada
kehinaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat (QS al-Baqarah [2]:
85).
Di antara hukum-hukum itu memang ada yang dibebankan kepada
individu seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya.
Demikian juga hukum tentang makanan, pakaian, akhlak, dan sebagian
hukum muamalah. Namun, ada hukum yang dibebankan kepada negara. Di
antaranya adalah hukum yang berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem
ekonomi, sistem pergaulan, strategi pendidikan, dan politik luar
negeri; juga hukum tentang sanksi terhadap pelaku kriminal. Semua hukum
itu harus dijalankan oleh negara.
Berdasarkan fakta itu, maka
keberadaan negara yang menjalankan syariah menjadi wajib. Sebab, tanpa
adanya negara (dawlah), niscaya terdapat sebagian besar hukum Allah yang
terlantar. Dalam kaidah ushul fikih dinyatakan:
مَا لاَ يَتِمُ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِِِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Suatu perkara yang menyebabkan suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya maka perkara itu wajib ada.
Telah
maklum, setelah Khilafah Utsmaniyah runtuh tahun 1924, tidak ada
institusi yang bertanggung untuk menerapkan syariah secara total.
Akibatnya, sebagian besar syariah itu pun terbengkalai.
Inilah
problem besar yang dialami umat Islam saat ini. Lenyapnya Khilafah telah
mengakibatkan sebagian besar syariah terlantar. Tidak hanya itu.
Tiadanya Khilafah juga membuat umat Islam terpecah-belah menjadi lima
puluhan negara. Tidak ada lagi institusi tangguh yang memelihara akidah
mereka; menjaga darah, harta, dan kehormatan mereka; serta melindungi
wilayah mereka dari serbuan negara-negara kafir penjajah.
Sesungguhnya
dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah demikian jelas. Aneka problem
akibat tiadanya Khilafah juga terlihat nyata. Namun, masih saja ada di
antara umat Islam yang enggan untuk berjuang untuk menegakkan Khilafah.
Ada yang pesimis terhadap Khilafah. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai
utopia.
Tentu itu adalah sikap yang amat keliru. Tegaknya
syariah dan Khilafah sama sekali bukan mustahil. Sebab, syariah dan
Khilafah adalah kewajiban yang telah Allah bebankan kepada hamba-Nya.
Tidak mungkin Allah mewajibkan suatu perkara kepada hamba-Nya di luar
batas kemampuannya. Namun demikian, memang untuk mewujudkannya
diperlukan perjuangan dan pengorbanan. Di sinilah keimanan dan ketaatan
kita justru diuji. Apakah kita termasuk orang yang rela berkorban untuk
menjalankan perintah-Nya atau orang yang enggan berjuang sambil mencari
dalih pembenar.
Sejak dakwah digulirkan Rosulullah saw. hingga
berdiri sebuah negara di Madinah, Beliau memerlukan waktu sekitar 13
tahun. Selama itu pula Beliau tak mengenal lelah untuk menyampaikan
dakwah. Demikian juga para Sahabat. Dalam berdakwah, mereka juga kerap
menerima berbagai ujian, fitnah, dan tekanan, baik fisik maupun mental.
Namun, itu tak pernah membuat mereka surut dan gentar. Mereka tetap
tegar menyerukan kebenaran Islam.
Abu Dzarr al-Ghifari,
misalnya, ketika mendakwahi kaum Quroisy, dipukuli hingga pingsan.
Abdullah bin Mas’ud juga dikeroyok beramai-ramai oleh kafir Quroisy
ketika membacakan al-Quran di tengah kerumunan massa. Perlakuan yang
sama juga diterima oleh para Sahabat yang lain. Bahkan tidak sedikit
Sahabat yang gugur dalam berjuang, seperti Yasir dan istrinya.
Dalam
berdakwah, Rosulullah saw. tak jarang juga menerima hinaan dan cercaan.
Punggung dan tempat sujud Beliau pernah dilempari kotoran unta. Ketika
menyampaikan dakwah di Thoif, Beliau dilempari batu hingga
berdarah-darah. Namun, semua itu tak pernah membuat Beliau mundur dan
berhenti berjuang.
Kegigihan dan pengorbanan Rasul saw. dan para
Sahabat dalam berjuang ternyata menuai hasil. Allah Swt. mengganjar
mereka dengan pahala, surga, dan ridha-Nya. Mereka pun mendapat anugerah
kemenangan di dunia, yakni tegaknya Daulah Islamiyah di Madinah. Dari
sanalah kemudian Islam menyebar ke seantero dunia. Kemuliaannya
menerangi kehidupan sehingga dalam waktu singkat manusia
berbondong-bondong memasuki agama Islam (Lihat: QS an-Nashr [110]: 1-3).
Ketundukan
kepada Allah Swt. dan ketaatan menjalankan perintah-Nya memang
membutuhkan pengorbanan, baik waktu, tenaga, harta, bahkan jiwa. Akan
tetapi, kita tidak perlu khawatir. Pengorbanan itu pasti akan membuahkan
hasil. Allah akan memberikan pertolongan-Nya jika kita
bersungguh-sungguh menolong agama-Nya (Lihat: QS Muhammad [47]: 7).
Pertolongan
sesunguhnya hanya di tangan Allah; tidak akan datang kecuali dari-Nya
(QS Ali Imron [3]: 126, al-Mulk [67]: 20, al-Kahfi [18]: 43). Siapa saja
yang ditolong Allah, tidak akan ada seorang pun yang dapat
mengalahkannya. Sebaliknya, jika Allah menghinakannya, tidak ada seorang
pun yang dapat menolongnya. (QS Ali Imron [3]: 160).
Khilafah
akan segera kembali, insya Allah dalam waktu dekat. Semua upaya yang
dikerahkan orang-orang kafir dan antek-anteknya untuk menghalangi
tegaknya Khilafah akan gagal dan sia-sia. Sebab, tegaknya Khilafah telah
menjadi janji Allah dan Rosul-Nya. Semoga kita termasuk orang-orang
yang dipilih Allah untuk mewujudkan janji-Nya. Allah Swt. berfirman:
وَعَدَ
اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ
Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah mejadikan orang-orang sebelum
mereka berkuasa. Sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah Dia ridhai untuk mereka. (QS an-Nuur [24]: 55).
Rasulullah saw. juga menegaskan:
ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Kemudian akan datang Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian (HR Ahmad).
di kutib dari buletin al-Islam